Last Updated on December 23, 2018 by evrinasp
Di bulan Februari 2018 ini, kantor tempat saya bekerja sedang mendapatkan titipan amanah berupa enam orang siswa magang. Mereka adalah siswa yang bersekolah di bidang pertanian di wilayah Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor. Oleh guru yang mengantar, kami dititipkan agar mereka mendapatkan pengalaman secara langsung mengenai bagaimana bekerja di bidang pertanian agar ketika mereka lulus dan beranjak dewasa jadi lebih mendapatkan pengetahuan di luar pendidikan sekolah.
Saya dan teman-teman secara bergantian mengajak salah satu di antara mereka untuk mengikuti kami saat bekerja di lapangan. Dari sana saya sering memperhatikan bagaimana mereka mengamati, menyerap, dan menuangkan apa yang didapat hari itu sebagai bekal laporan kepada gurunya nanti.
Suatu hari, saya iseng bertanya kepada salah satu orang yang kebetulan sedang ikut saya saat mengamati tanaman padi. Sebut saja namanya Milenia yang sedang kekinian karena saya tidak boleh mengumbar nama asli tentunya. Saya bertanya seperti ini:
Evrina: “Milenia, bapaknya petani juga kan? nanti kalau sudah lulus mau ngapain?”.
Milenia: “Iya bapak garap sawah, kata bapak kalau sudah lulus usahakan jadi penyuluh, biar bisa menyuluh petani”.
![anak-petani](https://evrinasp.com/wp-content/uploads/2018/02/anak-petani-2.jpg)
Milenia sedang bertanya mengenai pestisida nabati kepada salah seorang petani, Bapak ini termasuk petani yang mempertahankan sawahnya dan menerapkan pertanian ramah lingkungan
Saya pikir Milenia akan seperti kebanyakan orang yang baru lulus pendidikan pada umumnya yaitu: mencari kerja, kerja di bidang apapun yang penting bekerja. Tetapi Milenia sepertinya akan mengikuti arahan sang bapak yang menginginkan bekerja di bidang pertanian.
Saya menyambut jawabannya dengan senyuman. Saya bilang kepadanya bahwa hal tersebut bagus walaupun masih didorong dengan saran sang bapak, karena bagi saya jarang sekali ada anak muda yang mau kembali lagi ke bidang pertanian ketika dia lulus pendidikan.
Beberapa ketua kelompok di tempat saya sering sekali curhat kalau belum memiliki penerus untuk melanjutkan usaha taninya. Kalau nanti mereka sudah tua dan mungkin sudah tidak ada di dunia, mereka khawatir, jangan-jangan sawah yang diwariskan malah dijual oleh sang anak. Padahal rata-rata di antara mereka sibuk mempertahankan sawahnya dari godaan biong-biong tanah (sebutan calo penjual tanah di sana) agar tidak dijual dan tetap ada hingga saat ini.
![anak-petani](https://evrinasp.com/wp-content/uploads/2018/02/anak-petani-3.jpg)
Ini adalah lahan cabe seluas 2 Ha yang digarap oleh 1 orang petani saja. Beliau mempekerjakan 7 orang untuk membantunya
Terus terang, saya saja sampai bingung ketika mencari pemuda tani untuk diikutkan ke dalam pelatihan taruna tani yang diadakan oleh kantor. Hampir dikatakan tidak ada karena kriterianya harus petani dengan usia di bawah 30 tahun. Akibat tidak adanya peserta, akhirnya pelatihan tersebut dilempar ke wilayah lain yang mungkin taruna taninya masih ada.
Minimnya keinginan anak muda untuk bergelut di bidang pertanian itu karena dianggap lapangan pekerjaan ini masih dianggap tidak keren. Padahal sebaliknya lho, para petani saya itu mereka menggarap lahannya sendiri dan mempekerjakan buruh harian untuk membantu dalam budidaya.
Saya ingat dengan ucapan pak Zulfakar sewaktu saya mewawancarainya mengenai pemberdayaan di Leuwiliang. Waktu itu Pak Zulfakar membawa beberapa orang siswa SD untuk studi banding ke ICDF (sekarang namanya ADS) di IPB untuk belajar mengenai hortikultura dan budidaya jambu kristal. Sepulangnya dari sana, Pak Zulfakar bertanya kepada siswa-siswa tersebut dengan pertanyaan simple seperti ini: “setelah kemarin berkunjung ke kebun, kira-kira yang mana petaninya?”.
Hampir semua siswa salah menjawab. Mereka menjawab petaninya adalah mereka yang ada di bagian menanam atau yang ada di bagian pemeliharaan. Itulah pandangan anak-anak tentang sosok petani.
Pak Zulfakar sedang mengajar siswaKemudian Pak Zulfakar menjawab: “salah! petaninya adalah orang berbaju putih, dengan celana jeans, memakai sepatu boots, topi, dan membawa pengeras suara”. Begitu Pak Zulfakar menceritakan kepada saya. Lalu Pak Zulfakar menjelaskan kalau petani itu tidak harus kotor, tidak harus terjun langsung. Sosok yang diceritakan oleh Pak Zulfakar adalah Mr Chen (kalau saya tidak salah ingat), Beliau adalah konsultan pertanian dari Taiwan yang sedang mengembangkan hortikultura di ICDF saat itu.
“Jadi tidak harus terjun langsung kalau mau jadi petani, anak-anak bisa mempekerjakan orang untuk mengembangkan pertanian, kita pemberi konsepnya” begitu penjelasan Pak Zulfakar kepada anak-anak. Mengetahui fakta tersebut, anak-anak kemudian semangat, katanya mereka juga mau jadi petani seperti Mr. Chen. Begitu cerita yang saya dengar dari Pak Zulfakar.
Stigma itulah yang ingin saya ubah kepada generasi muda bahwa bekerja di bidang pertanian itu keren. Kotor sedikit tidak apa-apalah, namanya juga bekerja di alam jadi wajar saja kan jika bersentuhan dengan tanah, dedaunan, atau air irigasi. Atau kalau tidak mau kotor, ya kita bisa jadi pemberi konsepnya seperti Mr. Chen. Jangan salah lho, meskipun para petani terlihat bergelut dengan hal-hal yang terlihat kotor karena tanah, penghasilan mereka juga cukup besar terutama bagi mereka yang sudah paham akan kondisi pasar.
Memang tidak dapat dipungkiri, jangankan siswa, para mahasiswa yang notabenenya lulusan institusi bidang pertanian saja banyak yang melenceng pekerjaannya. Bagi saya itu tidak masalah sih karena itu menjadi pilihan masing-masing, artinya mereka dapat bekerja di berbagai bidang .
Saya sering mendapat pertanyaan mengapa lulusan pertanian sekarang banyak bekerja di bidang lain, seperti saat saya diwawancara oleh salah satu staf imigrasi ketika mengajukan passport. Saya hanya bisa menjawab karena perusahaan yang mencari tidak menetapkan kriteria tertentu, hanya fresh graduate saja sehingga banyak lulusan bidang pertanian yang ikut bekerja di sana. Tetapi ada juga kok lulusan pertanian yang akhirnya kembali ke daerah dan mengembangkan daerahnya.
Harapan saya, semoga jika nanti pertanian semakin maju maka akan ada banyak lagi insan-insan yang peduli dengan bidang pertanian. Mereka tidak harus bekerja pada perusahaan atau instansi tertentu, tetapi justru membuka lapangan kerja baru. Semoga saya juga bisa jadi seperti mereka yang sudah lebih dulu membuka lapangan pekerjaan di bidang pertanian ya. Banyak lho yang dapat kita garap di bidang pertanian karena pertanian itu luas, dari hulu hingga hilir, dari tanaman segar hingga produk olahan. Itu adalah salah satu cita-cita saya ke depan nanti. Semoga dapat terwujud. Aamiin.
Saya kok terharu ya, bacanya…:((
Hehe maaf ya mbak membuat terharu
Hampir di semua daerah, yang namanya petani itu yang tua-tua….jarang ketemu petani berusia muda. Kalo ada yang mudapun, dia hanya anak petani tua yang ikut membantu abahnya. Banyak faktor memang yang menjadikan pertanian bukan hal yang menarik bagi anak muda…Yah intinya petani kita perlu regenerasi ke petani-petani muda yang enerjik, open mind terhadap teknologi dan berorientasi pada produksi tinggi serta berwawasan lingkungan (pertanian sehat). Kapan? Insya Allah masa itu akan datang…dan disitulah dibutuhkan peran evrina sebagai penyuluh, untuk selalu mempromosikan pertanian kepada muda-mudi Indonesia. Semangat!!!
Terima kasih pak anton, iya nih saya tetap menyemangati diri sendiri dan para bapak tani biar gak kehilangan harapan, sedih aja membayangkan kalau lahan hijau yang luas itu terbengkalai, mudah2an nanti dengan semakin majunya pertanian, anak2 muda termasuk anak pak petani mau melanjutkan usaha agribisnis
Mbak Evrina,
Tulisan ini memotivasi untuk mencari generasi penerus sebagai petani muda. Di tempat saya yg minat di sekolah pertanian makin langka. Ada solusi?
Wah sedih, padahal purwokerto itu lahan pertaniannya masih lebih luas ya daripada bogor. Sarannya apa ya, mungkin lebih sosialisasi lagi tentang pertanian modern. Kalau di bogor masih pada meminati karena sekolah mengajarkan agribisnis dan pertanian yg bener2 modern banget, pakai teknologi. Terus pemda juga mendukung sih karena sudah di petakan mana lokasi yang agropolitan
Bahkan di tempat saya pun di kampung, pemudanya enggak untuk jadi petani, mereka lebih senang bekerja di pabrik atau perusahaan, yang penting bukan bertani
Iya sedih ya, padahal bertani itu juga profesi
di bank ku aja, banyak banget mba, lulusan IPB, tp malah jd pegawai bank :).. anak buahku ada beberapa tuh, ada yg lulusan ilmu nutrisi, ilmu mkanan ternak… Tapi jawaban mereka sama, mereka butuh kerja, jd ga peduli sama ato ga jurusannya, ya mereka ambil aja .. miris sih… tapi mksudku, kalo memang dari awal ga pengen-pengen amat kerja yg sesuai jurusan, kenapa ambil itu … Tapi yo wislah… yg ptg saat udh kerja skr, mereka serius dan mau belajar ttg perbankan :D.. prinsip ku sih itu aja …
Iya sih, itulah banknya juga nerima ya hehe, gak apa2 itu sudah jadi rezeki mereka, yang penting kerja profesional
Salam kenal mbak.
Saya anak petani, dan sekarang suami saya juga seorang petani.
Dalam berbagai kesempatan, saya sering di tanya “suaminya kerja dimana?”
Saat saya jawab “Di sawah. Suami saya petani” rata-rata penanya langsung mengernyitkan dahi hehehe…
Semangat mbak, kereeen mbak. Jangan salah lho, petani kadang penampilannya aja yg keliatan sederhana tapi rezekinya luar biasa
Ironis ya, negara kita negara agraris tapi anak-anak muda malas jadi petani
negara kita punya lautan luas, tapi anak-anak muda malas jadi nelayan
petani dan nelayan selalu jadi profesi pilihan terakhir,
gak tahu apakah acara semacam “Kelas Inspirasi” itu pernah memunculkan petani sebagai inspirator gak ya?
Perlu banget daeng, jarang kan petani or nelayan sukses dijadikan inspirator, kalo di kantor saya sih sudah sering