Aloha, akhirnya saya bisa posting blog post lagi setelah terakhir kemarin posting di bulan September. Saya sudah tidak sabar ingin menceritakan diary perjalanan Conservacation Sobat Air ADES ke Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sudah dilaksanakan pada tanggal 25-30 September 2018 lalu. Soalnya sayang banget kalau tidak dituliskan karena banyak faedah yang perlu direnungkan dan diaplikasikan sepulangnya dari sana.
Oh iya Conservacation Sobat Air ADES ini merupakan gabungan dari kegiatan Conservation dan Vacation. Kegiatan konservasi sendiri dilakukan di Desa Deno, Kecamatan Pocoranaka, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, sedangkan vacationnya dilakukan di Labuan Bajo *horeee akhirnya bisa ke Labuan Bajo.
Nah untuk menjaga niche blog ini pada garisnya *eheummm, seluruh rangkaian kegiatan konservasi saya ceritakan pada blog ini, sementara kegiatan vacationnya dituangkan pada blog evventure.com. So, kunjungi kedua blog saya ini ya *ada maunya.
Baca dulu ini yuk: Conservacation Sobat Air ADES
Dari Jakarta ke Kupang
Pagi hari sekali sekitar pukul 5 pagi, saya beserta Sobat Air ADES dan rombongan Ades Indonesia sudah naik pesawat Garuda menuju Kupang, NTT. Lumayan deh ada beberapa jam untuk tidur di pesawat supaya saat tiba di lokasi jadi lebih fresh.
Tak berapa lama, sinar mentari mulai muncul dan terlihatlah dataran NTT berwarna cokelat pertanda gersang tersebut. Saya sudah tau sebelumnya kalau sedang musim kemarau di NTT maka lingkungan menjadi gersang dan pasti susah air. Tetapi saya tidak menyangka kalau suasananya benar-benar segersang itu, seluruh hamparan yang saya lihat berwarna cokelat sungguh rata hingga ke penjuru.
Kemudian cockpit di pesawat mengatakan bahwa kami akan segera mendarat di bandara El Tari Kupang. Alhamdullah akhirnya saya bisa juga menginjakkan kaki di NTT dengan sebuah tujuan alias bukan hanya jalan-jalan saja.
Sesampainya di bandara, kami langsung disambut oleh panitia, kemudian naik bis kecil menuju destinasi pertama yaitu: tempat makan. Kami sarapan dulu di sebuah tempat makan yang disampingnya terdapat tempat oleh-oleh *maaf saya lupa namanya. Menu yang disajikan saat itu adalah nasi kuning dengan berbagai lauk. Sayangnya saat itu saya sudah kekenyangan karena sudah makan di pesawat, jadi hanya menyicipi sedikit saja nasi kuning yang tersaji.
Tak lama, kami melanjutkan perjalanan kembali karena Asyraf, Sobat Air ADES dari Makassar yang ditunggu, sudah bergabung bersama kami. Dari sana, kami dibawa ke On The Rock Hotel yang memiliki view pemandangan biru memukau.
https://www.instagram.com/p/BoImX9OhOBP/?utm_source=ig_web_button_share_sheet
Selama kurang lebih tiga jam berada di On The Rock Hotel, kami diberikan pengarahan dari pihak ADES Indonesia mengenai seluruh kegiatan Conservacation, dilanjutkan pengarahan dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), dan Kapten Budi yang telah melakukan konservasi sumber daya air di Kupang.
Melalui Mohamad Rezky Yunus selaku Brand Manager ADES Indonesia dijelaskan bahwa ADES memiliki tekad untuk menjadi merek yang peduli akan kelestarian air untuk keberlangsungan hidup masyarakat melalui semangat Cintai Air Cintai Hidup. ADES percaya bahwa konservasi air merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan dari bisnis perusahaan di manapun ADES beroperasi. Melalui keyakinan tersebut, ADES memiliki gagasan untuk menyebarkan semangat konservasi air pada generasi muda melalui program Conservacation bersama Pejuang Air ADES.
Pejuang ADES di NTT bernama Romo Marcel, dan untuk mencapainya ADES berkolaborasi dengan YKAN yang merupakan afiliasi lokal dari The Nature Conservancy. YKAN menemani para Sobat Air ADES selama melakukan kegiatan konservasi di Desa Deno agar dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Saya tertarik sekali dengan penjelasan yang diberikan terutama mengenai mengapa konservasi perlu dilakukan baik di darat maupun lautan.
Sebelum turun ke lapangan nanti, kami juga dibekali bagaimana menularkan kebaikan melalui cerita oleh mas Rachmadin Ismail, Wakil Pemimpin Redaksi Kumparan. Untuk memulai cerita yang mampu menggugah seseorang agar berubah dapat dimulai dari membuat cerita menarik yang seemosinal mungkin tetapi to the point alias tidak terlalu naratif. Kemudian ditambahkan juga dengan element visual yang mendukung dan gunakan konteks yang lebih mudah dipahami oleh orang awam sekalipun. Akan lebih baik apabila pendekatan yang digunakan lebih ke personal sehingga seseorang seakan ikut dalam cerita tersebut.
Demikianlah beberapa sesi yang kami lewati pada kelas selama tiga jam sebelum turun ke lapangan. Oh iya untuk mempermudah pengerjaan tugas-tugas, iya dong ada tugas karena konsep program bukan hanya jalan-jalan saja, kami dibagi ke dalam lima kelompok. Saya berpasangan dengan Doddy Senjaya, traveler plus pure blogger dari Jakarta. Setelah pembagian kelompok selesai, kami semua melanjutkan kegiatan visit ke lapangan.
Begini Cara Menabung Air di Tanah Tandus Berkapur: Embung Cinta Tesabela
Dalam perjalanan ke Embung Cinta Tesabela, saya memperhatikan kiri-kanan jalan menanjak dengan batu-batu besar berkapur. Sesekali saya melihat beberapa pepohonan yang gersang karena daunnya sudah berguguran. Perhatian saya kemudian teralihkan ketika melihat seorang anak laki-laki kecil, kemungkinan berusia 7 tahun, membawa dua buah dirijen berisi air. Sepertinya dia baru saja mengambil air dari sebuah sumber air untuk digunakan di rumahnya.
Melihat kondisi tersebut, saya paham betul misi mulia yang ingin diwujudkan oleh seorang pilot yang sudah mencapai beberapa jam penerbangan tersebut. Namanya adalah Kapten Budi yang ikhlas menghibahkan tanah miliknya untuk dibangun sebuah embung berbentuk cinta di Desa Tesabela, NTT.
Berawal dari keprihatinannya saat melihat siaran berita kekeringan di NTT, kemudian Kapten Budi secara nurani terpanggil untuk membantu menuntaskan salah satu masalah kekeringan di NTT. Padahal saat itu dia sedang dalam perjalanan untuk berlibur ke Eropa bersama keluarga, namun seketika membatalkan semua rencana liburan tersebut dan beralih untuk membantu di NTT.
Kapten Budi bersama istrinya membangun sebuah yayasan yang menampung anak yatim piatu di Desa Tesabela. Di tanah yang Ia hibahkan telah dibangun sebuah embung penampung air hujan sebagai bahan sumber daya air dikala kemarau.
Inilah yang membedakan antara dam atau bendungan dengan embung. Embung dibangun di dataran tinggi dengan luasan tertentu yang berfungsi sebagai penampung air hujan. Air hujan ini hanya akan dimanfaatkan saat musim kemarau sehingga tidak terjadi kekurangan air saat musim kemarau tiba.
Embung berbentuk cinta ini memiliki luasan 12000 meter kubik, mampu untuk mengairi sawah seluas 2 ha dan tanaman buah seluas 20 ha di musim kemarau. Untuk mewujudkan hal tersebut, tidaklah mudah karena tanah yang berada di area embung merupakan tanah kapur latosol dengan bebatuan keras.
Kapten Budi dibantu dengan masyarakat harus melakukan penggalian terlebih dahulu guna menyingkirkan bebatuan kapur yang keras tersebut untuk mendapatkan tanah. Tanah yang telah diperoleh kemudian dilakukan pengayakkan dan ditambahkan bahan organik sehingga berubah menjadi tanah gramosol yang dapat ditanami.
Untuk membangun embung, Kapten Budi dibantu oleh Coca Cola Company. Pada tahap awal, embung dilapisi oleh semacam bahan tekstil untuk mencegah lapisan diatasnya rusak akibat gesekan batu. Setelah itu baru diberikan semacam plastik geomembran yang memiliki ketebalan tertentu sehingga mampu menahan tekanan air serta gesekan batu kapur.
Kedepannya, jika embung ini sudah berjalan maksimal, Kapten Budi memiliki cita-cita mendirikan sebuah pertanian terpadu di sekitar kawasan embung. Pertanian terpadu tersebut diharapkan dapat diolah oleh anak-anak asuh yayasan sehingga mereka mampu berdaya dan mandiri.
Apa yang dilakukan oleh Kapten Budi ini membuka mata saya bahwa selalu ada harapan dibalik semua kesulitan. Saya pikir tanah gersang yang ada di Kupang dan bahkan di Desa Tesabela tidak mungkin terbangun sebuah area kawasan yang hijau. Namun setelah melihat apa yang sudah dilakukan oleh Kapten Budi, saya percaya bahwa tanah gersang sekalipun dapat hijau kembali apabila manusia ikut terlibat dalam konservasi. Itu sebabnya konservasi tidak harus menunggu alam ini rusak. Konservasi harus dilakukan sejak dini secara terus-menerus untuk masa depan bumi.
Baiklah, nanti jadi kepanjangan deh. Cerita Conservacation di hari pertama cukup sampai di sini dulu ya, untuk cerita di hari kedua akan saya ceritakan pada postingan terpisah.
[…] Baca ini yuk: Menabung Air di Embung Cinta Tesabela […]