Last Updated on October 17, 2019 by evrinasp
Conservacation hari kedua, kami sudah bangun di pagi hari sekali sampai harus subuhan di bandara. Soalnya hari itu kami harus bertolak dari Kupang menuju Ruteng. Untuk menuju Ruteng, kami menggunakan pesawat kecil yang memiliki baling-baling. Lumayan deh menghemat energi sebanyak dua jam berada di pesawat hingga akhirnya tiba di Bandara Frans Sales Lega, Ruteng.
Dari Ruteng, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan mobil yang berjalan secara beriringan. Kami masih harus menempuh perjalanan darat lagi ke Kecamatan Pocoranaka yang berada di ketinggian sekitar 1300 mdpl. Waktu tempuh dari bandara ke Pocoranaka kurang lebih tiga jam dengan kontur jalan berkelok dan berbukit.
Dari kejauhan sudah tampak bukit yang terbentang di hadapan. Setelah kami memasuki area bukit tersebut, saya dapat menggambarkan bahwa jalan bukit berkelok tersebut mirip dengan jalan menuju Cianjur Selatan atau Malang. Bedanya di kiri kanan banyak pepohonan hijau, sementara di Ruteng di kiri atau kanan jalan berkeloknya dipenuhi semak belukar. Seperti bentuk jalan yang baru saja dibuka karena ada beberapa titik jalan aspal yang rusak.
Sesampainya di dataran tinggi Pocoranaka, saya melihat bahwa daerahnya cukup gersang seperti di Kupang. Atap rumah yang ada di sana kebanyakan menggunakan bahan dari seng dan ada juga yang memasang panel surya sebagai tempat pemanen energi matahari.
Dari sana, ternyata kami sudah sampai di lokasi dan ternyata sambutannya luar biasa karena hampir seluruh warga termasuk anak-anak sekolah sudah berbaris rapih menyambut kami semua.
Sambutan Meriah dan Ramah dari Masyarakat Desa Deno
Saya tidak menyangka lho kalau sambutan dari masyarakat Desa Deno begini meriahnya. Kami bersama dengan rombongan ADES Indonesia seperti selebriti atau orang penting yang benar-benar disambut dengan sepenuh hati.
Saya kurang mengerti dengan apa yang disampaikan karena penyambut tamu menggunakan bahasa Manggarai Timur. Namun saya yakin bahwa isinya adalah kalimat-kalimat penyambutan karena mereka memberikan kain songket sebagai tanda penerimaan dari tamu yang datang.
Setelah prosesi penyambutan di gerbang, kami kemudian dibawa ke area lapangan luas di depan aula gereja. Di sana ternyata ada semacam tairan khas Manggarai Timur, salah satunya adalah tari Caci yang memang dimaksudkan untuk menyambut tamu. Tarian ini nanti akan dibahas di blog evventure.com saja ya.
Selanjutnya setelah persembahan tarian khas Manggarai Timur selesai, kami diajak untuk masuk ke dalam aula gereja untuk melakukan acara pembukaan. Di sana saya melihat sosok Romo Marcel yang menjadi Pejuang Air ADES mewakili Bea Muring.
Romo Marcel ini adalah sosok yang inspiratif. Diumurnya yang masih muda, Beliau menjadi pastor Paroki Santo Damian Bea Muring, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Romo Marcel sangat berjasa bagi wilayah Bea Muring karena telah mendorong warga di sekitarnya untuk mengolah air sungai sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro dan membantu memenuhi kebutuhan listrik di kampungnya.
Berkat usahanya tersebut, Desa Deno dapat melepaskan diri dari penggunaan generator sebagai sumber listrik yang menghasilkan polusi udara dan mengganggu kehidupan. Menurut masyarakat yang saya tanya mengenai keberadaan listrik di desanya ini membuat mereka sangat terharu. Kalau dulu listrik hanya mampu hidup beberapa jam saja dikala malam, kini mereka terpukau dengan adanya listrik yang hidup cukup lama di malam hari. Benar-benar sebuah perjuangan banget ya.
Setelah mendengarkan pemaparan dari Romo Marcel, Sobat Air ADES kemudian diajak untuk melihat bagaimana desa ini berjuang membangun pertanian terpadu yang menjadi sumber mata pencaharian hampir semua warga.
Perjuangan Mewujudkan Pertanian Terpadu di Desa Deno
Pertanian terpadu adalah konsep pertanian yang memadukan sektor lainnya seperti peternakan sehingga tercipta zero waste dalam bidang pertanian. Budidaya tanaman yang dikembangkan di desa ini adalah padi sawah, palawija, kopi, dan sayuran organik. Ada yang saya garis bawahi dari perjuangan mereka dalam mewujudkan pertanian terpadu di desa ini yaitu sayuran organik.
Di musim kemarau yang sulit mendapatkan air ini tentu menjadi hambatan tersendiri dalam budidaya sayuran terutama sayuran organik. Untuk makan minum dan kehidupan sehari-hari saja masih kekurangan air, apalagi untuk menumbuhkan tanaman, pasti cukup berat pemenuhan kebutuhan airnya.
Contohnya Ibu Yanita, dia setiap hari harus membawa 16 dirigen dengan masing-masing dirigen berjumlah 5 liter air turun naik ke sumber mata air hanya untuk menyirami tanamannya. Saya membawa satu buah dirigen saja sudah kelelahan, apalagi 16 dirigen, dan itu setiap hari.
Mengapa Ibu Yanita dan petani lainnya rela melakukan hal tersebut? itu karena mereka memang sangat membutuhkan sayuran, terutama sayuran organic mengingat daerah mereka cukup jauh dari kota (3 jam jarak tempuhnya) sehingga mau tidak mau harus mengusahakan sendiri sayuran organiknya. Ibu Yanita bahkan rela menanam sayuran organic dan harus susah mencari air demi cucunya bisa memakan sayur. Duhhh… saya sangat terenyuh banget di sini, begitu susahnya masyarakat Desa Deno berjuang sehari-harinya.
Air memang menjadi permasalahan serius bagi petani di Desa Deno, tetapi syukur alhamdulillah untuk kebutuhan pupuk dapat terpenuhi berkat adanya rumah pengolahan kompos dan pupuk organik yang dikelola masyarakat.
Rumah pengolahan kompos ini tidak perlu susah payah mendapatkan bahan pembuat kompos seperti daun kering dan kotoran hewan karena masyarakat memberikannya kepada rumah kompos. Hasil olahan kompos dan pupuk organik ini kemudian dimanfaatkan oleh petani sekitar sehingga konsep zero waste benar-benar dapat terealisasi.
Usai dari rumah kompos, para Sobat Air ADES kemudian dibagi ke beberapa rumah penduduk untuk tinggal di sana selama dua hari. Saya kebagian di rumah Bapak Laurens yang merupakan petani kopi arabica dan robusta. Mengenai Bapak Lauren dan keluarga akan saya ceritakan pada postingan selanjutnya ya.
Conservacation hari kedua saat itu ditutup dengan makan malam dan sharing bersama sekaligus persiapan untuk melakukan kegiatan inti di hari ketiga. Saya pulang bersama pendamping menikmati malam yang dingin di antara kegelapan di Desa Deno. Cerita Conservacation akan berlanjut ke postingan berikutnya.
Nasirullah Sitam says
Membaca bagaimana orang di sini mencari air dengan begitu beratnya langsung sadar, ketika semangat dan keinginan tinggi, pastinya hasilnya jauh lebih baik.
evrinasp says
Iya, Karena sudah menjadi kebutuhan jadi sangat dibela sekali
Hendra Suhendra says
Udah kayak presiden aja disambut meriah ya mba.. Berarti mereka begitu menghormati setiap tamu atau pengunjung yang datang ke desa mereka.
Gak kebayang, betapa penuh perjuangan banget untuk bisa mendapatkan air, padahal cuma buat nyiram tanaman saja, demi tumbuhan organic untuk anak cucu di masa depannya. Maka dari itu, kita yang mudah dapat air, jangan suka buang-buang air yah bu Insinyur pertanian
evrinasp says
Iya saya banyak belajar dari mereka untuk kelestarian sumber days air