Last Updated on May 9, 2017 by evrinasp
Pagi itu seperti biasa saya melakukan pemantauan lahan sawah di wilayah binaan. Suasana saat itu sangat sepi namun damai karena hampir tidak ada petani di sawah. Hanya ada beberapa burung pemakan malai saja yang terlihat beterbangan di sekitarnya. Kondisi ini sudah saya maklumi karena pertanaman padi sedang dalam masa vegetatif hingga primordial alias pembungaan. Pada masa itu jarang petani yang berada di sawah kecuali untuk melakukan pemeliharaan atau pemupukan saja.
Lalu para petani pergi ke mana? yang saya tau para petani di wilayah binaan saya jika sedang tidak ke sawah maka mereka akan melakukan pekerjaan lainnya seperti menjadi kuli bangunan, supir angkutan umum atau sekedar mencari rumput untuk hewan ternaknya. Hal itu mereka lakukan untuk mengisi waktu sambil mencari rezeki dari tempat lain.
Hingga akhirnya saya tersadar bahwa langkah itu mungkin menjadi salah satu alternatif jalan mencari rezeki lain jika ternyata lahan sawah tidak lagi menjanjikan.
Lahan Sawah yang Semakin Berkurang
Di suatu forum rapat koordinasi, seorang aparat mengatakan bahwa luas lahan sawah di Indonesia sebenarnya semakin berkurang. Contohnya saja seperti di Karawang yang merupakan lumbung pangan, ternyata sebagian besar sawahnya sudah menjadi milik perusahaan. Kita tinggal menunggu waktu saja kapan lahan sawah tersebut akan dialih fungsikan. Sekarang masih bisa digunakan oleh petani penggarap untuk ditanami padi penghasil beras yang menjadi sumber pangan pokok Bangsa Indonesia.
Saya juga pernah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana sebuah pabrik berdiri di atas lahan sawah di Cianjur yang juga menjadi lumbung pangan. Ironisnya, pabrik itu berdiri dekat dengan Balai Pelatihan Pertanian Provinsi Jawa Barat. Saya hanya berpikir bagaimana nanti pembuangan limbahnya karena di sekelilingnya benar-benar berupa lahan sawah.
Tak perlu jauh-jauh melihat daerah lain, lahan sawah di wilayah binaan saya saja sudah mulai mengkhawatirkan. Tahun 2013 lalu saat saya baru pertama kali menjadi seorang penyuluh, hampir semua kelompok petani di satu desa bisa menanam padi. Saat itu aliran irigasi lancar, paling tidak dalam satu tahun para petani bisa satu kali “nyawah”. Namun semua itu jauh berbeda sejak satu tahun belakangan ini. Ada dua kampung yang kesulitan mendapatkan aliran irigasi sehingga tidak bisa menanam padi sama sekali. Penyebabnya karena memang debit air sudah tidak sebanyak dulu dan apabila ditelusuri daerah resapan air yang dulunya berupa sawah dan juga hutan, kini sudah berubah menjadi perumahan.
Hal itulah yang menjadi pekerjaan rumah (PR) saya saat ini. Para petani mengeluhkan pasokan air irgasi yang berkurang sehingga mereka tidak bisa menanam padi. Mereka kemudian menggantinya dengan bercocok tanam palawija meskipun harganya juga belum menjanjikan.
Siapa yang Akan Mewarisi Lahan Sawah?
Belum selesai masalah luas lahan sawah dan juga irigasi. Masalah sumber daya manusia (SDM) juga menjadi PR besar saat ini. Jika saya ke sawah, maka SDM pertanian yang ditemukan rata-rata sudah berusia lanjut, jarang sekali petani muda yang terlihat sawah. Dulu saya pernah berharap oleh salah satu sosok petani muda yang bergerak pada bidang hortikultura di wilayah binaan saya. Namun tahun ini harapan itu sirna karena petani muda tersebut kemudian bekerja di luar sektor pertanian dan lebih memilih sektor industri yang konon lebih menjanjikan.
“Saya bingung Bu, anak saya ‘gak ada yang mau turun ke sawah, nanti saya ‘gak tau ini sawah mau bagaimana” begitu kata Pak Rosid, salah satu petani yang pernah mencurahkan kegundahan akan masa depan pertanian di kampungnya. Pak Rosid adalah satu dari sekian petani yang pernah saya dengar menyuarakan hal yang sama. Saya sendiri juga agak bingung, jika para petani yang sudah sepuh ini sudah tidak sanggup lagi mencurahkan tenaganya, lalu lahan sawah ini akan dikemanakan?.
Lain halnya dengan Pak Rosid, Pak Andung yang rumahnya tak jauh dari rumah Pak Rosid malah mendidik cucu laki-lakinya sejak dini untuk turun ke sawah. Hal ini dia lakukan karena lahan sawah menjadi salah satu sumber rezeki untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari sementara Pak Andung sendiri sudah tidak bisa lagi ke sawah lantaran penyakit stroke yang Ia derita.
Banyak sekali yang sebenarnya masih berharap akan keberlangsungan lahan sawah yang menghidupi hajat hidup orang banyak. Namun, banyak juga hambatan untuk mempertahankan eksistensinya. Ironis memang, di satu sisi kita mengejar swasembada pangan, namun laju alih fungsi tidak terelakan. Maka ancaman krisis pangan sejatinya benar-benar nyata jika kita tidak mengambil langkah untuk mencegahnya.
Lalu Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Ini sebenarnya curahan hati saya pribadi melihat fenomena eksistensi lahan sawah yang kian mengkhawatirkan. Bahkan atasan saya di kantor sudah pernah membicarakan kalau mungkin ke depannya nanti, pertanian khususnya di wilayah kami akan ada di sekitar lahan pekarangan rumah saja. Sedih sekali jika melihat hamparan sawah yang hijau itu berganti dengan sebuah bangunan. Atau kalau pun masih ada mungkin akan terlantar akibat tidak ada generasi yang melanjutkan.
Pemerintah sebenarnya sudah melakukan perlindungan dengan mengeluarkan regulasi. Contohnya di Kabupaten Bogor sudah mengeluarkan Perda nomor 11 tahun 2016 yang merupakan turunan dari Undang-Undang nomor 41 tahun 2009. Melalui perda ini siapapun yang ingin mengalih fungsikan lahan sawah maka harus menggantinya sebanyak dua kali lipat luas lahan sawah di lokasi lain. Perda ini sudah berhasil menahan beberapa lokasi lahan sawah yang dilirik oleh pengembang. Sayangnya sebelum Perda ini keluar, beberapa lahan sawah yang dulunya potensial terlihat sudah berubah menjadi perumahan.
Nah, melalui tulisan ini saya ingin menyuarakan harapan agar tidak ada lagi alih fungsi lahan sawah. Mari bersama kita memberikan kesadaran kepada para pelaku utama, pelaku agribisnis serta pihak lainnya bahwa betapa pentingnya lahan sawah termasuk lahan pertanian lainnya guna menyokong kebutuhan pangan. Kemudian bukakanlah mata para pemilik lahan sawah ini apa manfaatnya jika lahan sawah tetap dipertahankan serta akibatnya jika alih fungsi lahan terjadi. Jangan sampai negara yang dulunya terkenal agraris lambat laun berubah hingga tergantung pasokan pangan dari negara lain. Miris!.
Langkah yang saya lakukan saat ini adalah dengan memberikan motivasi kepada para petani untuk tetap mempertahankan eksistensinya di tengah gempuran pembangunan di sana-sini. Saya berharap mereka tetap bangga menjadi seorang petani karena salah satu alasan mengapa kita bisa hidup dan berkembang saat ini adalah melalui asupan pangan yang diperoleh dari kerja keras mereka sebagai penghasil pangan. Semoga lahan sawah tetap ada dan semoga ada generasi penerus yang melanjutkan perjuangan bapak-ibu petani.
Ucig says
Sedih mbaaa ev… nantinya gmn yaa. Klo profesi petani nggak ada yg mau lagi. Itu anak2 bpk tani itu nggak mau ya mba :'( dan krna kesejahteraannya dirasa kurang. Klo anak2 skrg jg farmer jarang jadi cita2..
Moga ada solusinya
evrinasp says
iya beda dengan farmer di luar negeri yang malah keliatan wah karena punya lahan berhektar-hektar
Fitri Anita says
di Kampung, om ngurusin sendiri lahan sawah keluarga…kadang gagal panen…dan kalaupun paten cuman cukup buat makan aja mba..duh sedih deh…
evrinasp says
iya begitulah mbak produk pertanian, tergantung kondisi alam soalnya
wisnutri says
ngga cuma di bogor, karawang atau cianjur mbak. di daerah saya Purworejo sana, yang notabene bukan kota yang gede-gede amat, lahan sawah juga udah banyak yg dialih fungsikan jadi perumahan. sempet kaget sebenernya misal pas pulang mudik ke rumah, perasaan dulu disini sawah…ee tau-tau kok jadi kompleks perumahan sama pertokoan -__-
saya juga sempet kepikiran kaya gitu mbak ev, siapa ini yg bakal nglanjutin “nggarap” sawah kalau anak mudanya pada pergi merantau hehe. di rumah bapak juga ada sawah, ee anaknya pada ngga ada yg terjun ke dunia pertanian. semoga para lulusan sarjana pertanian bisa memberi solusi buat masalah ini. aamiin
evrinasp says
ayo dong diwarisi lahan sawah bapaknya, gak harus terjun langsung, bisa dengan memanage orang untuk mengurus
Dzulkhulaifah says
Wah cepet banget ya perubahannya dari 2013, that means baru 4 tahun sudah kekurangan irigasi untuk 2 desa 🙁
Daerahku dulu juga banyak persawahan. Nenek kakek juga petani. Sekarang disini sama sekali udah ngga ada sawah. Tergantikan dengan perumahan padat penduduk dan ruko2 sepanjang jalan.
Kalo di film-film amerika tuh jadi farmer kayaknya bangga banget yaaa.
evrinasp says
iya karena laju pembangunan juga cepat, tanpa memperhitungkan daerah resapan air
Inayah says
Haruskah ku pulang kampung? Di keluarga, tinggal bapak ibu yg bertani.
evrinasp says
it’s up to you neng
may says
kalo lahan sawah berkurang bisa jadi beras langka lalu harga naik ya mbak
evrinasp says
iya bisa jadi atau tergantung impor deh jadinya, terjajah lagi
Rudi Chandra says
Dulu di desa sebelah rumah saya juga masih banyak sawah. Sekarang satu pun nggak ada sisa.
Sedih kalo ngingatnya.
Soalnya dulu saat kecil sering main-main di pematang sawah itu.
evrinasp says
yahhh kan banyak alih fungsi lahan sawah, sedih juga mendengarnya